Etnik
Tionghoa selama ini dipandang memiliki citra buruk karena sistem sosialnya yang
tertutup, berorientasi keduniawian dan enggan bergaul dengan lingkungan
sekitar. Siapa sangka bahwa citra itu bukanlah keinginan mereka tapi bentukan
semasa penjajahan Belanda. Kebijakan wijkenstelsel pada zaman kolonial
yang melokalisasi pemukiman etnik Tionghoa merupakan titik awal tumbuhnya ekslusivisme
di kalangan etnis Tionghoa. Kemudian, ketika kita mengulas kembali sejarah 10
November 1945, mungkin di benak kita hanyalah cerita peperangan antara pribumi
Surabaya dengan Belanda padahal ada kaum lain, utamanya Tionghoa terlibat dalam
peristiwa penting tersebut yang membawa Surabaya menjadi daerah berdaulat
seperti sekarang.
Komunitas
Tionghoa di Surabaya awalnya merupakan
skripsi milik penulis untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Sastra di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
dan telah diujikan pada awal 1998 lalu oleh Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(MESIASS) diterbitkan sebagai buku awal tahun 2004. Memaparkan tentang
perjuangan kaum Tionghoa hidup di Surabaya dari masa penjajahan Belanda hingga
kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa pendatang, Belanda menetapkan orang-orang
Timur Asing yaitu orang Melayu, Arab, India, dan Tionghoa pada lapisan kedua
dalam sistem pelapisan masyarakat. Di bawah orang – orang Belanda dan Eropa
lain dan di atas lapisan terendah yaitu orang – orang Indonesia asli. Sehingga
berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan kota. Hal tersebut menimbulkan
kecemburuan sosial dari pihak pribumi Surabaya.
Seperti
skripsi pada umumnya, di bab I yaitu pendahuluan, Andjarwati menuturkan tiga
persoalan yang perlu dijawab untuk penelitiannya. Pertama, apakah pergantian
kekuasaan yang terjadi di Indonesia mempengaruhi kondisi masyarakat Tionghoa di
Surabaya? Kedua, mengapa pemerintah yang berkuasa di Indonesia selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda terhadap masyarakat Tionghoa? Ketiga, apakah
peristiwa pemogokan penduduk Tionghoa di Surabaya muncul sebagai manifestasi
dari endapan permasalahan di dalam golongan Tionghoa yang berkepanjangan dan
tanpa adanya keterlibatan dari penguasa, atau apakah ini akibat dari penerapan
kebijakan politik penguasa terhadap minoritas Tionghoa di Indonesia pada masa
itu?
Pertanyaan – pertanyaan itu lalu dijelaskan pada bab selanjutnya dalam
buku ini. Andjarwati
dengan rinci menggali berbagai sumber sehingga kisah – kisah kemerdekaan
mengikutsertakan peran Tionghoa yang tidak kecil, dapat mengubah pandangan
miring masyarakat kita terhadap etnis Tionghoa. Tidak banyak yang tahu bahwa
penderitaan akibat meletusnya perang 10 November 1945 bukan saja dialami warga
pribumi namun juga warga Tionghoa. Mereka kesulitan memperoleh bahan makanan,
perampokan meningkat, dan tindakan perkosaan seringkali dilakukan para serdadu
Gurkha (serdadu Sekutu) terhadap gadis – gadis Tionghoa. Selain itu mereka juga
mengalami konflik antar golongan Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan.
Pada bab IV
dijelaskan secara rinci kehidupan Tionghoa di Surabaya mulai saat pemerintahan
kolonial Belanda, orang – orang Tionghoa dilarang menghilangkan ciri khas dan
tanda fisik yang melekat pada dirinya. Kuncir panjang (thauwcang) yang
dikepang rapi dan dililit dengan pita merah serta harus mengenakan pakaian khas
Tionghoa. Jika melanggar maka mereka telah dianggap melakukan tindak kriminal
dan dikenai sanksi hukuman. Peraturan lain adalah passenstelsel, yang
mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pass jalan jika mengadakan perjalanan
keluar daerah. Serta berbagai kebijakan yang membuat etnis Tionghoa tertekan.
Kemudian,
pada zaman penjajahan Jepang mereka lebih tertindas karena beberapa warga
Tionghoa dipaksa masuk kesatuan Keibotai (pertahanan sipil milik Jepang dengan
anggota khusus etnis Tionghoa). Parahnya, sebagai penghibur tentara Jepang,
warga Tionghoa harus menyediakan perempuan dari kalangannya. Setelah
proklamasi, Tionghoa mulai terpecah menjadi pendukung republik dan anti-
republik, komunitas Tionghoa lama bangkit kembali bahkan kaum ini memberikan
pelayanan medis bagi semua kalangan korban perang. Sungguh, perjuangan besar
warga Tionghoa demi kemerdekaan menikmati hidup di tanah Indonesia. Namun,
terkadang sikap warga kita sangat acuh bahkan cenderung membenci sehingga
timbul banyak kontroversi.
Kontroversi
bahkan bertubi – tubi menimpa Tionghoa yang bermukim di daerah pusat
pemerintahan dan perekonomian. Selain pendiskriminasian yang diceritakan dalam
buku “Komunitas Tionghoa di Surabaya”, ada peristiwa rasial lain terkait etnis
ini. Seperti peristiwa Bandung 1963 terdapat kerusuhan anti suku peranakan
Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut
Tehnologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pri.
Keributan berubah
menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan. Pekalongan, 31 Desember 1972
terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya,
perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan
terjadi saat acara pemakaman. Medan, 12 April 1980 sekelompok mahasiswa
USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku
peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian. Surabaya,
September 1986 pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku
peranakan Tiong Hoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya.
Mereka melempari mobil dan toko milik orang-orang Tionghoa.
Miris.
Mengingat negara kita adalah negara yang ber-bhineka tunggal ika. Sepatutnya
menghargai perbedaan. Mereka memang bukan Indonesia asli tapi perjuangan mereka
adalah untuk kemerdekaan Indonesia lepas dari penjajahan. Mereka rela
meninggalkan negara asal dan mengorbankan harta serta nyawa di sini.
Makin
maraknya kekerasan terhadap Tionghoa setelah tahun 1966 mungkin disebabkan
faktor pemerintah yang sedang berkuasa. Pada saat itu Tionghoa diduga adalah
antek – antek pemerintahan orde lama yang menerapkan sistem nasionalis komunis.
Ketakutan pemerintah orde baru menimbulkan tindakan – tindakan berlebihan sehingga
jatuh korban tidak bersalah. Seperti kita tahu pada masa itu demokrasi tidak
berjalan sempurna. Sedikit saja sindiran atau penentangan akan dianggap
pengikut orde lama (komunis). Pada akhirnya orde baru dapat ditumbangkan oleh
mahasiswa tahun 1998 dan digantikan pemerintah reformasi.
Kemudian tahun 2004,
saat mantan presiden Abdurrachman Wachid memimpin timbulah kebijakan menjadikan
hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Ini disambut baik oleh warga
Tionghoa. Mantan presiden Abdurrachman Wachid sadar betul Tionghoa yang tinggal
di Indonesia adalah bagian dari rakyat. Mereka mungkin tidak lahir di Indonesia
tapi kontribusi mereka besar.
Hal tersebut
pada akhirnya menjadi latar belakang penerbit merasa wajib merekomendasikan
buku “Komunitas Tionghoa di Surabaya” sebagai buku acuan sejarah untuk
mempelajari bagaimana sebenarnya kehidupan masyarakat Tionghoa bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Beberapa fakta mengejutkan dan aktual dapat kita temukan.
Penceritaan dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang warga Surabaya dan warga
Tionghoa bisa memberikan pandangan obyektif.
Pemberian
catatan kaki berupa keterangan tambahan dan buku pendamping dari peristiwa yang
dimaksud dalam tulisan mempermudah kita mempelajari lebih lanjut kebenaran data
yang dipaparkan penulis. Buku ini juga disertai tabel jumlah penduduk kota
Surabaya dan jumlah penduduk Tionghoa di Surabaya agar dapat dibuat
perbandingan sehingga dapat memberi gambaran seberapa besar kontribusi warga
Tionghoa terhadap kota Surabaya. (Hanifah N. Wardani)
Judul:Komunitas
Tionghoa di Surabaya
Penulis:Andjarwati Noordjanah
Penerbit: MESIASS
Cetakan:1, Maret 2004
Tebal:xviii + 139 halaman
ISBN :979 96911 41
Penulis:Andjarwati Noordjanah
Penerbit: MESIASS
Cetakan:1, Maret 2004
Tebal:xviii + 139 halaman
ISBN :979 96911 41
0 komentar:
Posting Komentar