
“Musik adalah sesuatu, karena itu jangan meremehkan musik. Musiklah
yang menyatukan para pecinta dan cintanya,” kata Wina Bojonegoro di
sela-sela peluncuran bukunya di Surabaya, Sabtu (5/2).
Iringan biola yang dimainkan Filesky dan aksi teaterikal Indri dari
jurusan Teater SMKN 9 Surabaya pun memperkuat pesan yang ditargetkan
dalam novel pertama dari empat yang direncanakan itu.
“Karena itu, saya ceritakan tentang biola legendaris atau
stradivarius yang dimiliki keluarga Van Ros dengan lakon Padmaningrum.
Ia selalu bermimpi memegang biola dan akhirnya ia menemukan di lemari
rahasia,” katanya.
Setelah itu, ia pun bisa memainkan biola yang akhirnya membawanya
kepada serentetan peristiwa, roman atau mistik yang dapat disebut
mistikil roman.
“Dari serentetan peristiwa itu, Padmaningrum pun menjadi tahu jati
diri yang sebenarnya, ia merupakan anak siapa, dan seterusnya, sehingga
tabir kehidupannya pun terbuka,” katanya.
Tidak hanya itu, para pakar sastra pun hadir, di antaranya Suparto
Brata (begawan sastra), Akhudiat (budayawan), Dr Sugeng Susilo Adi MHum
MEd (dosen FIB Universitas Brawjaya Malang), dan M Shoim Anwar
(cerpenis dan dosen Unesa Surabaya).
“Novel itu lahir setelah saya berusaha menulis selama 10 tahun dan
nggak bisa, tapi dengan bantuan email, chatting, dan ngobrol dengan
teman-teman akhirnya saya mampu menulis kisah Padmaningrum dalam empat
bulan,” katanya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Dr Sugeng
Susilo Adi MHum MEd, membaca karya Wina Bojonegoro adalah membaca
rangkaian kata-kata hidup yang magis mengalir lewat kalimat yang
tali-temali menjadi paragraf yang hidup pula.
“Yang paling saya suka dari tulisan Wina Bojonegoro adalah monolog
Aku bahwa apa yang ada di dalam hati sang Aku dia tampilkan dalam
rangkaian kata-kata magis yang sangat-sangat enak disimak, karena
terkadang nakal, menggelitik, filosofis, menyindir keegoan kita,”
katanya.
Sementara itu, cerpenis M Shoim Anwar mengatakan hal menarik dalam
karya Wina Bojonegoro adalah penggambaran karakter urban yang berwujud
ketegangan budaya.
“Misalnya, ketegangan itu ada pada pemakaian bahasa Inggris dan
Indonesia yang mencerminkan ketegangan budaya modern dan tradisional,”
katanya.
Ketegangan budaya lainnya tampak pada setting cerita yang bermula dari tokoh asal Gandusari, Trenggalek yang kuliah di Yogyakarta dan akhirnya ke Jakarta.
“Yogyakarta adalah perantara modernitas dan Jakarta adalah
modernitas itu sendiri. Tokoh Padma yang mudah kagum pada budaya lain
juga menunjukkan ketegangan itu. Padma itu tradisional banget dengan
adanya karakter minder, mudah kagum, rendah diri,” katanya.
Apalagi, dia juga menemukan biola dengan cara yang gaib (tradisi),
lalu dia memainkan dalam orkestra yang diiringi tarian Jawa (tradisi).
“Ketegangan budaya itu juga ditunjukkan saat perjodohan dan mimpi
yang semuanya diarahkan ke ilmu kedokteran dan psikologis sebagai wakil
dari budaya modern yang ilmiah,” katanya.
Pandangan Shoim Anwar itu “diluruskan” budayawan Akhudiat.
“Ketegangan itu ideosinkretik atau kegilaan, karena mengawinkan modern
dengan tradisi itu sulit dan hanya ada dalam ide, bukan realita, seperti
komputer dengan kerisyang tak mungkin bertemu,” katanya.
Namun, begawan sastra Suparto Brata menegaskan bahwa Wina Bojonegoro
itu luar biasa, karena dia menulis cerita menjadi buku. “Buku itu
tidak akan berumur pendek, seperti Ronggowarsito,” katanya.
Pada hari yang sama, Direktur Dbuku Bibliopolis, Sasa Prasetiyadi,
yang merancang acara peluncuran novel itu juga menggelar bedah buku
tentang “Arsitektur Koprol” karya Prof Dr Ir Josef Prijotomo M.Arch dari
ITS Surabaya.
“Buku itu mendekonstruksi arsitek atau arsitek yang melongok
lokalitas, sebab arsitek kita akhir-akhir ini berwajah Singapura,
Prancis, dan kebarat-baratan, padahal kita punya yang lebih indah. Jadi,
kita juga mengalami ketegangan budaya secara realitas,” kata Sasa.
(Ant/OL-12)
*) Media Indonesia, 6 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar