Foto, bagi seorang Trisnadi adalah saudara kembar bahasa. Foto, mampu
mewakili mozaik panjang sebuah sejarah peradaban manusia ketika bahasa
sudah mengalami kungkungan kekuasaan. Baginya, foto dapat membongkar
logika dan retorika palsu, kebenaran yang disembunyikan dan dimanipulasi
dengan sengaja. Foto kemudian menjadi berikade kesadaran reflektif yang
menjadi kekuatan bahasa.Maka kemudian, Tris mengawinkan kelenturan bahasa dan kekuatan foto dalam Dolly: Hitam Putih Prostitusi. Menggandeng
Dorothea Rosa Herliani untuk merangkai kuplet-kuplet sajak pengiring
foto-foto bidikannya dalam secuil tanah di Surabaya yang menjadi
lokalisasi terbesar Asia Tenggara: Dolly.
Aku membawa hati diantara kekosongan cinta yang
Amat kusut. Kutawar-tawarkan kepada semua lelaki
yang melukis angin di matanya.
tuhan, beri aku kenikmatan cinta yang asing.
Beri aku ledakan-ledakan dan derak ranjang yang asing.
Beri aku segala yang tak dipunyai lelaki
Tapi bukan surga!
Puisi pembuka yang ditulis Dorothea ini menggambarkan perasaan
seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menjalani kehidupan dalam
jerat komersialisasi birahi. Kesadaran yang mempertanyakan sekaligus
menantang akan nasib yang yang tak dikehendaki. Potret akan ketuhanan
ini dibidik Trisnadi dalam sebuah foto perempuan PSK Dolly yang tengah
ditawari poster. Pedagang poster itu menunjukkan gambar Yesus dan surat
Yaasin. Foto ini seakan menampar PSK dengan tangan kesucian agama. Simak
bagaimana Dorothea menafsirkan dalam sajaknya.
Benarkah Tuhan ada di sini?
Berapa waktu aku merasa tak ada surge terbuka
Hidup diantara satu-satunya pilihan.
Sekali saja sempat aku memilih berdoa
Dalam pintu harapan yang terbuka
Sesekali, aku membayangkan Tuhan, surge,
Dan doa hanyalah bianglala
Yang menggaris pandanganku
Ketika letih menggusur rindu kerontangku
Di padang sehara yang luas ini
Tuhan tidak mati dalam keyakinan perempuan-perempuan Dolly itu. Foto
Trisnadi tentang aktivitas mereka mengaji, mengikuti Lomba MTQ PSK
se-Surabaya menggambarkan bagaimana Tuhan berada pada titik ironi di
garis ini.
Dolly identik dengan ‘akuarium manusia’, dimana tubuh-tubuh perempuan
di pajang dalam sebuah etalase kaca seperti ikan hias yang dijajakan.
Mereka dipoles sedemikian rupa agar memikat mata siapa saja yang
menatapnya dari luar kaca. Meski mereka mengenakan pakaian super mini
yang manampakkan separuh tubuh atas dan separuh tubuh bawah, namun
reaksi mereka yang menutup muka ketika dibidik kamera menunjukkan bahwa
mereka tak sedemikian kukuh untuk mengakui identitas pilihan pekerjaan
mereka dipertontonkan secara lebih luas pada dunia diluar Dolly.
Seperti inikah hidup?
Aku, dietalase itu, dengan daftar harga,
dan siap ditawar.
Dolly memang kawasan lokalisasi penjaja seks komersial. Ketenarannya
bahkan menjadi identitas kota pahlawan, Surabaya, mengalahkan rawon dan
tugu pahlawan. Meski kadang hanya menjadi bahan canda antar pelancong,
tapi seringkali melahirkan rasa penasaran untuk sekedar meniliknya dari
balik kaca mobil. Tapi Dolly sungguh seperti kampung-kampung kebanyakan.
Diantara bar dan dagangan daging manusia yang gemerlap kala malam itu, terselip kehidupan keseharian laiknya kampung lain.
Foto-foto Trisnadi menggambarkan bagaimana di gang sempit itu
terselip pedagang makanan, pengamen,toko kelontong, tukang parkir, dan
tukang becak yang menggantungkan penghidupan pada tetamu wisma-wisma
Dolly. Juga pedagang sayur mayur yang menyediakan bahan asupan gizi bagi
semua penghuni Dolly. Disini pula anak-anak kampung bersekolah,
bermain, dan belajar mengaji berhimpit dengan dinding-dinding mesum.
Seperti biasa, hidup berangkat pada pagi hari
Berjalan menuju harapan dan mimpi yang melelahkan
Mereka menanam hari depan di tubuh anak-anak
Yang gembira.
Potret kehidupan gang kecil ini menunjukkan bagaimana banyak manusia
menyandarkan tampu roda ekonomi pada jual beli kenikmatan di Dolly.
Gambaran bahwa masyarakat sekitar Dolly adalah juga bagian dari
masyarakat urban yang mencoba bertahan hidup tergambar dalam foto-foto
seputar aktivitas sehari-hari di Dolly. Kondisi dimana banyak manusia
yang bertumpu pada putaran ekonomi di Dolly ini lah yang kemudian
melahirkan pro dan kontra ketika isu penutupan Dolly mengemuka.
Memandang Dolly memang tak bisa hitam putih. Sex yang diperdagangkan
terlanjur dipandang sebagai sebuah kegiatan menyimpang. Stigma-stigma
negatif pun kemudian tertempel. Tak lagi penting motivasi dan persoalan
apa dibaliknya. Pilihan Trisnadi dengan foto hitam putih tepat untuk
menampilkan sisi ironi dalam kehidupan prostitusi Dolly. Perdagangan sex
bisa jadi adalah dosa, aib, sampah, tapi jika kemudian manusia-manusia
suci turut pula menjilat keringat dari dosa, aib dan sampah itu,
masihkah Tuhan akan menutup pintu-pintu sucinya?
Mengabadikan kehidupan Dolly dalam sebuah dokumentasi foto dan
sajak-sajak indah adalah sebentuk usaha dari manusia-manusia yang tidak
memandang Dolly secara hitam putih. Mereka menyelami Dolly dari dekat,
tidak meneropong dari jauh dan menabur garam sepakat penilaian umum
secara serampangan. Kedekatan itu tertuang dalam foto-foto aktivitas
perempuan-perempuan Dolly diluar rutinitasnya memajang diri dalam
akuarium dan melayani tamu-tamu haus kenikmatan ragawi.
Bila tak dekat, Tris tak akan mampu mendapatkan gambar bagaimana
mereka melepas kutang, memoles diri dalam riasan kosmetik, bersiap
mandi, dan makan nasi bungkus di kamar kos mereka yang sempit dan
pengab. Kedekatan itu pula yang membawa Tris untuk dapat mengambil
gambar bagaimana mereka menghisap rokok sembari rebahan hanya dengan
handuk yang membungkus tubuh dalam bilik wisma. Adalah kedekatan pula
yang membuat Tris mampu menghadirkan potret-potret bagaimana mereka
menuangkan bir untuk tamu, dan bersenda gurau dengan pelanggan.
Kedekatan yang dibangun Tris adalah kedekatan investigatif yang
secara naluriah dimiliki Tris sebagai seorang jurnalis. Terlepas dengan
kompensasi apa kedekatan itu dibangun, yang jelas Tris mampu meruntuhkan
dinding yang membuat mereka dipandang sebatas manusia-manusia dalam
kaca yang dijajakan. Tris membidik mereka dari dekat, membawa
kenyataan-kenyataan ke permukaan sehingga mampu memunculkan sisi
manusiawi.
Dan apa yang ditulis FX Rudy Gunawan dalam esai epilognya semakin menyentil sisi kemanusiaan siapapun yang membaca buku ini;
Hidup para pelacur sepenuhnya berada dalam ketidak pastian.
Berbagai upaya untuk mengentaskan para pelacur nyaris tak pernah
membuahkan hasil. Para pelacur terus bermunculan. Hilang satu tumbuh
seribu. Pepatah ini mungkin tepat untuk menggambarkan regenerasi di
dunia prostitusi dan mata rantai industrinya yang menggurita. Membelit
setiap korban tanpa ampun.
Apa yang masih bisa diharapkan seorang pelacur dalam hidupnya?
Cinta sejati? Ah, tak ada itu cinta sejati! Hidup normal;punya
suami-punya anak. Mimpi! Siapa yang mau mengawini seorang pelacur? No
Hope? Enggak juga, sih! Siapa tau ada mukjizat/ Mukjizat? Togel
maksudmu? Ha-ha-ha!
Tawa Rudi Gunawan mungkin terdengar satir dan pedih. Tawa yang tak
mengejek. Mungkin tawa yang menyimpan kepedihan. Menertawakan hidup yang
tak punya pilihan lain. Tapi sungguh, kasunyatan hidup yang
perempuan-perempuan Dolly jalani bukanlah sesuatu yang layak menjadi
bahan tertawaan. (Diana AV Sasa)
Judul : Dolly: Hitam Putih Prostitusi (Selaksa Foto Puisi)
Penulis : Dorothea Rosa Herliani (Pusi, Cerpen)
Trisnadi (Foto)
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : I, Juni 2004
ISBN : 979-3600-24-1
*) Ini adalah resensi untuk buku SURABAYA REVIEW hasil karya belajar Bengkel Biblio Angkatan I
0 komentar:
Posting Komentar