Orasi Satu Tujuan yang digelar Perpustakaan Dbuku
Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya sampai pada putaran ke-4. Untuk
bulan April, dengan mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April,
kami mengundang sastrawan muda Slamet Wahedi untuk menyuarakan
gagasannya. Berikut ini transkrip orasi yang disampaikan:
Di forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan
ketika saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman
tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu
duduk di kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra
yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar
membaca sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya,
ustadz saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah
mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan
sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah
dedikasi yang kuat.
Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta merta diterima
sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu. Banyak anak-anak
yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan,
mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental
mereka.
Pertamakali saya mengenal sastra saya sungguh takjub. Saya sungguh
sangat membanggakan siapa yang namanya Goenawan Muhamad, yang namanya
Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca Saman, Catatan Pinggir,
saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan saya ingin menjadi
seperti mereka. Saya sering membacakan sajak,sajak Chairil, saya sering
membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah. Itulah pengalaman
saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang namanya sastra.
Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi kecuali sastra.
Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu
tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya memasuki dunia kuliah. Ketika
saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra. Saya melihat ternyata dunia
sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik.
Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis. Tiba-tiba
dalam dunia sastra saya mengenal yang namanya mitos. Orang yang
tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh
Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh
ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu tercekam pada dunia
sastra.
Dan saya juga membaca dunai sastra kita begitu dipenuhi oleh
keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran
sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang saya katakan paradoks.
Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan
kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang
seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis
oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh Ironi bukan?
Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada
saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an,
yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut
kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra
seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat
dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kenapa kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti
merebut kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan
kita sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan,
ketertindasan masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba
membredel mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang
cukup gigih memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang
cukup mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan
memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan
yang boleh terbit.
Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir. Di era kemerdekaan
sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh sebuah prahara kebudayaan
yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra terus bertarung, bertarung,
bertarung demi politik, demi gagasan, demi humanisme universal. Mereka
terus bergulat, bergulat, hingga sekarang. Nyatanya, karya sastra kita
tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri kita. Kalau mau jujur, hanya
seorang Pram saja yang mampu berkata di dunia. Hanya seorang Pram saja
yang diakui tanpa harus berkoar-koar di media. Pram dari balik jeruji
dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu saja sastra kita yang bisa diakui
dunia.
Sampai sekarang pun pergulatan antara umanisme universal dan
sosialisme sosialis belum berakhir. Kemanusiaan yang kita
dengung-dengungkan belum mereka sentuh. Bahkan, ironi itu berlanjut
dengan namanya Horison, dengan namanya Utan Kayu, dengan namanya
Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat lainnya, diam-diam para
sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih peka, orang yang
diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata bak politikus juga.
Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang hanya bisa
mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.
Sama saja. Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama
keindahan, atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah
puisi yang menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri.
Mereka memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah,
sungguh ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.
Lalu bagaimana kita sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan
tanpa dendam. Generasi yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita
lakukan? Maka, satu hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua
sastra kita.
“Hanya ada satu kata, silahkan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri”.
Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?
Pada sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah
dengan kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook,
dengan datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber
Sastra diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu
mengomentari, bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau
tidak. Tapi bagi saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah
sendiri saya akan mengatakan,
“Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah saatnya saya harus
menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah bukan saatnya saya
harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya harus berandai-andai
sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya harus menyebarkan
puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap lapisan masyarakat”.
Sudah saatnya puisi itu tidak hanya memperbincangkan simbol,
semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori. Tapi sudah saatnya sastra
itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan kemanusiaan. Memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Karena itu, sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan
ini, saya ingin menjelaskan, saya ingin lenegaskan kembali. Kita sebagai
generasi yang naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda,
yang mempunyai cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan,
“Kita tidak butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para
sastrawan yang sudah berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat
mafia, membuat gengster. Kita punya sejarah sendiri”.
Itu yang perlu kita katakan pada dunia. Kita mesti berkarya dengan
hakekat diri kita sendiri, kta harus berkarya dengan jati diri kita
sendiri. Kita tidak mereka untuk memediakan karya kita. Kita tidak butuh
Kompas, kita tidak butuh koran, kita tidak butuh apapun yang terus
membonsai imajinasi kita untuk menyebarkan karya. Kita hanya butuh
kemerdekaan. Kita hanya butuh eksistensi, kita hanya butuh keberanian.
Kita harus bercermin pada Wiji Tukul, hanya kata satu kata terhadap
koloni, terhadap kapitalisme, terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan
yang cuma menelorkan dogma-dogma: Lawan Mereka!
Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati. Dalam kaitan ini saya
juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya sastra. Bahwa
sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam kesusastraannya.
Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Mengapa ia harus
mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan adalah orang yang
selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan adalah kholifah yang
mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Sehingga
tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas penuh untuk menyuarakan
kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau seorang sastrawan, penulis
yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan jamannya, tidak mampu
menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu divamkan oleh setiap
sastrawan.
Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan
kemanusiaan. Kalau kita meminjam kata-katanya Seno Gumira, ketika
semuanya dibungkam, para hakim sudah disogok, jaksa sudah disuap,
presiden sudah disandera, polisi sudah diteror, maka sastrawan harus
berbicara lebih banyak. Sastrawan harus menegakkan semuanya. Itu yang
harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh setiap sastrawan.
Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu. Seperti
apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca, melihat realitas masyarakat
kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana yang namanya masyarakat
lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus belum selesai, bagaimana
negara yang morat marit ini. Harus kita lihat, harus kita terjemahkan
dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita kobarkan semangat
kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi rakyat kita dengan
estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan mereka sebagai
sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat ‘nyanyian’ kosong
kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu yang harus kita
miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro bismirobbikalladzi kholaq,
adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan nama Tuhanmu. Kalau sekali
itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai Tuhanmu, kabarkan kepada
mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan biarakan bila mereka
berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya kita.
Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir tahun 80-an.
Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam keinginan, dan
berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika kalian masih
bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi penulis, maka
harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai bergantung pada
orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan bergantung bahwa
koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di puncak kekuasaan,
semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko Yusuf, semisal
dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan pernah berharap,
jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada mereka kita semua bisa
menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu. Kita memang suatu
makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk memerintahkan kepada
yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling penting bagi kita
sebagai generasi berikutnya.
Para penikmat sastra yang bisa saya sampaikan atas beberapa
pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya
kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah
sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas
nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.
Penyembahan kita tidak sekedar bagaimana kita beribadah, tapi
bagaimana diri kita memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam
sejarahnya, dalam kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya
dengan estetika tinggi. Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai
manusia memang diwajibkan, memang seniscayanya menjadi sastrawan.
Sastrawan tidak harus bermakna seorang yang menjadi redaktur sastra,
tidak harus bermakna mahasiswa yang kuliah sastra, tidak harus menjadi
penulis karya sastra. Tapi sastrwan adalah orang yang mau membantu,
membaca, memahami, setiap ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat
Tuhan semua dikeluarkan dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol
tinggi. Tanpa cernaan sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi,
kita tidak akan mampu memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat
memahami Tuhan secara utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan
yang lain?
0 komentar:
Posting Komentar